Jaringan terbaru, yakni 5G, pertama kali ditawarkan oleh Korea Selatan pada Sabtu (1/12/2018). Jaringan ini diprediksi 10 kali lebih cepat dari jaringan 4G. Hal tersebut tercipta berkat bandwidth yang lebih besar dan tingkat latensi yang cukup rendah. Selain itu, jaringan 5G juga menawarkan keamanan tingkat tinggi serta konsumsi daya rendah. Jaringan 5G diproyeksikan dapat mendukung kebutuhan internet of things (IoT).
IoT didefinisikan sebagai perangkat yang mampu mentransmisikan atau mengirimkan data melalui jaringan tanpa menggunakan bantuan perangkat komputer dan manusia. IoT akan menjadi revolusi digital yang besar dan mampu menghubungkan miliaran perangkat. Para pengguna dari seluruh dunia dapat saling berbagi data. Adapun jumlah perangkat yang terhubung diprediksi akan meningkat menjadi 3,2 miliar pada 2023.
Jaringan 5G di Indonesia
Indonesia sudah lebih kurang delapan bulan memasuki era komersialisasi 5G. Hal ini terhitung sejak Telkomsel pertama kali meluncurkan layanan 5G ke publik pada Mei 2021 lalu. Kemudian disusul Indosat pada Juni 2021.
Meski sudah ada dua operator seluler yang menggelar 5G, layanan jaringan generasi kelima itu masih menjadi barang langka nan “mewah” bagi kebanyakan orang, sebab ketersediaannya yang masih sangat terbatas.
Belum bisa komersialisasi secara optimal
Pada 2022 ini, komersialisasi layanan 5G diprediksi masih belum optimal. Begitu pula dengan perluasan cakupan wilayah dan peningkatan kecepatan 5G. Pengamat telekomunikasi Moch S. Hendrowijono mengatakan bahwa operator seluler “belum mau” dan “belum bisa” mewujudkannya.
Menurut Hendro, tahun 2022 ini, operator seluler masih belum mau menggelar layanan 5G secara optimal, termasuk melakukan ekspansi besar-besaran karena infrastruktur yang belum memadai.
Hendro menjelaskan, melakukan ekspansi layanan 5G itu memerlukan biaya jauh lebih besar dibandingkan untuk perluasan layanan 4G LTE. Sebab, kata dia, layanan 5G yang ideal itu menggunakan spektrum frekuensi milimeter band atau, saat ini, alternatifnya dengan frekuensi 26 GHz.
Untuk menerima dan memancarkan sinyal 5G tersebut dibutuhkan menara BTS 5G sesuai dengan frekuensi yang digunakan. Masalahnya, menara BTS milimeterband atau frekuensi 26 GHz yang ideal untuk jaringan 5G itu memiliki jangkauan yang pendek.
“Jangkauan BTS milimeter band (atau alternatif frekuensi 26 GHz) itu hanya 200-an meter,” kata Hendro.
Jadi dengan kata lain, operator setidaknya harus membangun banyak BTS 5G, misalnya, setiap jarak sekitar 200 meter. Dengan begitu, operator seluler bisa menyediakan layanan 5G dengan kecepatan yang optimal dan merata.
Selain itu, perluasan layanan 5G juga sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur kabel serat optik (fiber optic), sebab jaringan 5G membutuhkan kapasitas transmisi yang besar.Hendro menilai, infrastuktur BTS 5G maupun kabel serat optik untuk ekspansi jaringan 5G di Indonesia masih belum memadai untuk tahun 2022 ini. Makanya, operator seluler belum mau untuk memperluas jaringan 5G secara besar-besaran tahun ini.
Tahun Ini Belum bisa karena lebar spektrum untuk 5G kurang Sementara itu, kata Hendro, operator seluler juga belum bisa menyediakan layanan 5G secara optimal di tahun 2022. Karena pada dasarnya, lebar pita frekuensi yang dimiliki masing-masing operator untuk menggelar layanan 5G ini masih tidak cukup.”Bahkan bisa dikatakan kurang,” kata Hendro.
Di samping itu, menurut Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Muhammad Ridwan Effendi, operator seluler saat ini juga masih menghadapi kendala lain dalam mengomersialkan layanan 5G, yaitu ekosistem yang belum banyak mendukung.
“Dari sisi handphone, misalnya, yang mendukung (band n3 dan n40) saja, saat ini masih terbatas,” kata Ridwan. Ekosistem yang masih terbatas itu juga dikarenakan pemilihan frekuensi yang digunakan untuk menggelar 5G saat ini masih mengandalkan infrastruktur jaringan 4G LTE yang sudah ada.
“Karena kembali lagi, frekuensi yang dipakai saat ini bukan yang paling populer digunakan (untuk menggelar 5G) seperti 700 MHz, 3,5 atau 2,6 GHz,” lanjut dia.
Editor : Ngaini Afifah